Investor dan Pebisnis, Cermati Dampak Tapering Off Dari The Fed Ini

Bisnis462 Dilihat

Pada Agustus 2021, Bank Sentral AS atau yang lebih dikenal dengan Federal Reserve AS (The Fed) memberi isyarat kuat bahwa akan memberlakukan kebijakan pengurangan aset.

Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan akan segera memangkas pembelian obligasi milik negara lain dan aset lainnya. Kebijakan ini lazim dikenal dengan nama Tapering off.

Mungkin beberapa dari Anda baru pernah mendengar istilah Tapering off. Istilah “tapering off” pertama kali muncul dalam dunia keuangan pada 22 Mei 2013.

Saat itu Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mengeluarkan kebijakan bahwa The Fed dapat mengurangi ukuran pembelian obligasi milik negara lain yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif. Dalam bahasa inggris disebut Quantitative Easing, QE.

Pelonggaran ini sebagai respon terhadap krisis keuangan pada tahun 2007-2008. Pelonggaran berarti The Fed menarik modal yang sudah mereka tanam ke banyak negara, kemudian menggunakannya untuk memperkuat ekonomi Amerika.

Tapering Off adalah upaya menurunkan suku bunga dengan melakukan pembelian aset dalam negeri Amerika Serikat.

Dampak Tapering Off

Dari hasil penarikan modal luar negeri, saat itu The Fed menggelontorkan USD 70 milliar untuk membeli dua jenis investasi. Pertama adalah USD 40 miliar untuk membeli surat utang AS (US Treasury).

Kedua yaitu USD 35 miliar untuk membeli obligasi kredit perumahan pada bulan Januari tahun 2014. Termasuk juga sekuritas dan aset hipotek lainnya dengan jangka waktu yang panjang.

Pembelian ini bertujuan untuk membantu menurunkan suku bunga bank dalam negeri. The Fed berharap program ini akan membantu bank di Amerika Serikat untuk merasa nyaman meminjamkan uang lagi.

Sebab, program ini memang dimaksudkan untuk merangsang ekonomi Amerika untuk sementara. Dengan satu efek samping yang besar, yaitu anjloknya nilai tukar mata uang negara lain terhadap Dollar.

Pada 2013 lalu, setelah The Fed mengumumkan Tapering off, nilai tukar rupiah terhadap USD langsung anjlok. Yang awalnya kokoh pada nilai 9 ribu rupiah per USD kemudian anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS.

Nasib pasar saham pun ikut ambyar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada pada level 5.200 jatuh ke level 4.200.

Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai angka Rp 36 triliun.

Taper Tantrum merupakan istilah yang diberikan para pengamat ekonomi untuk efek yang cenderung buruk dan terjadi pada banyak negara lain sebagai imbas Tapering off.

Efek kebijakan Tapering The Fed pun semakin berlarut – larut. Penarikan stimulus besar – besaran berlangsung hingga Oktober 2014.

Kemudian pada tahun 2015, The Fed memberlakukan kenaikan bunga dan berdampak pada tren panjang pelemahan rupiah.

Rupiah terus melemah hingga pada bulan September 2015 menyentuh angka 14.690 per dolar AS. Bahkan angka ini kemudian menjadi patokan baru nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hingga sekarang.

Itu adalah sedikit kisah pada tahun 2013, lalu bagaimana dengan tahun 2021? Apakah akan memberikan dampak buruk yang sama? Omaygaaad jangan sampai deh ya.

Dalam risalah rapat yang rilis pada pertengahan bulan Agustus, nampak muncul sinyal kuat bahwa kebijakan Tapering off  The Fed akan dimulai pada tahun ini.

Meski demikian, risalah tersebut juga mencantumkan keterangan bahwa para pejabat The Fed ingin memperjelas langkah Tapering off ini.

Mereka mengatakan bahwa pengurangan aset tidak akan menyebabkan kenaikan suku bunga, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Baca juga, 9 Buku Keuangan Keren, Bikin Kita Makin Melek Finansial!

Risalah rapat juga mencatat jikalau sebagian pejabat The Fed ingin menunggu awal 2022 untuk memperjelas kebijakan ekonomi ini.

Christopher Waller, salah satu dewan gubernur The Fed, mengatakan bahwa besar kemungkinannya The Fed akan mulai mengurangi pembelian obligasi pada Oktober 2021.

Sementara kenaikan suku bunga, baru akan menyusul setelah proses pengurangan pembelian obligasi diselesaikan dan Bank Sentral AS tak lagi menambah neraca pembelian.

Dampak Tapering Off 2021

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa kebijakan Tapering Off akan memberi dampak besar bagi Indonesia. Khususnya pada suku bunga, inflasi, hingga tingkat pengangguran.

Dalam salah satu konferensi pers, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan bahwa efek Tapering off dalam waktu dekat ini tidak akan seburuk saat taper tantrum 2013.

Setidaknya ada tiga langkah persiapan oleh Bank Indonesia. Pertama, melakukan komunikasi efektif dengan The Fed perihal transparansi kerangka kerja The Fed yang mencakup prospek ekonomi dan inflasi.

Kedua, optimalisasi strategi triple intervention Bank Indonesia untuk mencegah penarikan modal asing dari pasar surat berharga negara.

Ketiga adalah cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai US$ 137,4 miliar pada Juli 2021. Ini membuat kondisi moneter Indonesia cukup stabil.

Angka cadangan devisa ini jauh lebih cukup untuk melakukan stabilisasi ekonomi andaikata The Fed memulai penarikan modal dari Indonesia.

Perry Warjiyo meminta kita semua untuk optimis bahwa efek tapering off tidak akan sangat buruk. Perry juga menegaskan bahwa kebijakan Bank Indonesia  akan fokus mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan suku bunga tetap rendah dan mengakomodasi kebijakan makro prudensial.

Pada kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat gejala mulai menguatnya dolar AS pada awal September ini.

Kenaikan dolar AS bisa memacu inflasi AS yang tinggi, pada saat itulah The Fed akan melakukan Tapering off lebih awal.

Sri Mulyani mengatakan bahwa data ekonomi AS menunjukkan perbaikan. Pihaknya sedang menyiapkan kebijakan antisipatif atas semakin kuatnya mata uang AS. Ini tentu tidak baik bagi pergerakan nilai tukar rupiah.

Setidaknya ada dua hal yang harus diantisipasi sebagai imbas dari Tapering off. Pertama adalah naiknya suku bunga internasional dan kedua adalah imbal hasil surat utang negara akan semakin tinggi.

Tim Ekonomi Indonesia yakin bahwa penarikan dana yang berangusur – angsur ini akan meminimalisir resiko. Salah satunya yang paling dipikirkan adalah dampak terhadap sektor riil.

Jika Indonesia bisa dengan tenang menjaga nilai tukar, tim berharap bahwa sektor riil dan kebutuhan pokok masyarakat bisa tetap dalam angka aman.

Meski masyarakat luas belum mengetahui banyak tentang apa itu Tapering off dan imbasnya terhadap sektor riil. Namun Sri Mulyani sudah menyiapkan komite stabilitas sistem keuangan untuk mencegah sesuatu yang buruk.

Tentu tidak ada yang menginginkan bahwa akan ada krisis sebagai dampak Tapering off. Karena ekonomi dalam negeri saja masih stagnan dan belum menunjukkan peningkatan berarti.

Sri Mulyani menghimbau masyarakat dan investor domestik tetap tenang dan jangan menyebar isu negatif. Karena ini malah akan memperkeruh suasana.

Dampak Tapering Off Pada Investasi Saham dan Crypto

Dampak Tapering Off Pada Investasi Saham dan Crypto

Menurut Direktur PT Panin Asset Management, Rudiyanto, mengatakan bahwa ada kekhawatiran penarikan dana investasi AS pada banyak negara. Hal ini memunculkan sentimen negatif untuk pasar saham.

Contohnya pada 19 Agustus kemarin, satu hari setelah hasil rapat The Fed rilis ke publik. Angka IHSG mengalami pelemahan hingga 2 persen menuju angka 5.992 rupiah.

Kebijakan Tapering off The Fed, sedikit banyak akan memberikan dampak pada pergerakan nilai pasar saham, nilai tukar dalam negeri antara rupiah dengan mata uang lain, dan mungkin juga Crypto.

Karena aliran uang yang tiba-tiba berkurang, ada potensi nilai tukar akan melemah ketika awal The Fed melakukan Tapering off.

Namun ini hanya akan terjadi dalam jangka waktu pendek  dengan range angka yang tidak terlalu besar.

Rudiyanto tetap optimis bahwa pasar saham Indonesia akan mampu bertahan di tengah menguatnya isu Tapering.

Hal ini karena grafik investor domestik yang semakin meningkat, tandanya mereka mulai mendominasi pasar saham.

Kesadaran orang terhadap investasi saham semakin meningkat semenjak pandemi tahun lalu. Karena mereka membutuhkan penghasilan tambahan yang bisa dipantau secara realtime.

Pada sisi lain, perbankan masih mempunyai banyak dana simpanan dan kepemilikan investor asing pada instrumen obligasi mulai turun.

Rudiyanto juga menyatakan bahwa mulai muncul pola positif pada investor lokal. Jika ada investor asing yang menjual sahamnya, para investor lokal ini masih mampu untuk membelinya.

Ini menunjukkan makin kuatnya dominasi investor lokal, sehingga gejolak pasar sebagai dampak Tapering bisa lebih diminimalisir.

Lalu apakah Tappering off akan berimbas pada Crypto yang baru saja menunjukkan sentimen positif pasca terkoreksi awal tahun 2021?

Setelah sempat bullish, kini harga bitcoin mulai naik hinggai 50,66 persen. Satu koin Bitcoin harganya sudah mencapai sekitar 44 dollar Amerika.

Kapitalisasi pasar dari aset kripto seperti bitcoin dan altcoin mulai tumbuh kembali. Bahkan jika semuanya ditotal, angkanya bisa mencapai USD 2 triliun atau lebih dari Rp 30.000 triliun. Gila gak tuh!!

Padahal kondisi pasar aset kripto masih belum sebagus tahun 2020 lalu lho. Baru saja mau memasuki kembali musim semi aset kripto, eh sekarang sudah dihantui efek dari Tappering.

Buat kamu yang sekarang lagi megang banyak kripto, harus waspada ya gaes.

Gabriel Ray CEO Triv.co.id mengatakan bahwa Bitcoin dan aset kripto lainnya berpotensi akan mendapatkan sentimen negatif ketika The Fed mengumumkan pemberlakuan tapering.

Dengan penarikan modal Amerika yang ada di Indonesia, maka akan mengurangi total uang yang berputar pada pasar. Sentimen ini juga bisa memukul harga bitcoin, meski dampaknya tidak besar.

Menurut Ray, saat ini minim ada katalis positif yang bisa mengangkat harga bitcoin. Sehingga akan membuat pergerakan harga cenderung terbatas pada rentang USD 30.000 – USD 50.000 per Btc.

Kemungkinan akan bergerak pada rentang tersebut sampai akhirnya ada katalis positif yang bisa memicu harga Bitcoin. Tapi, kapan dan apa katalis positifnya, masih belum ada yang bisa menebaknya

Mungkin saja ketika ETF Bitcoin sudah mendapatkan pengesahan dari Amerika. Karena saat ini baru Kanada dan Brazil saja yang memperbolehkan peredaran ETF Bitcoin.

Atau ketika Amazon sudah bisa menerima pembayaran menggunakan cryptocurrency untuk pembelian barang pada setiap negara, ini tentu suatu hal yang menarik.

Jadi untuk semua kawan2 Folder Bsinis yang kini sedang memegang investasi saham dan kripto harus rajin2 mengupdate informasi terkait tapering off ya. Jangan sampai anda lengah dan tiba2 boncos. Kan jadinya sakit tapi tidak berdarah.

Baca juga, Masalah Keuangan Generasi Z dan Cara Mengatasinya

Sebagai masyarakat biasa, besar harapan kami bahwa tim ekonomi pemerintah bisa melakukan kebijakan strategis keuangan.

Hal ini untuk mempersiapkan diri dari kebijakan Tappering off agar kita tidak mengalami goncangan ekonomi yang bahkan sampai saat ini belum membaik akibat pandemi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *